Teladan hidup setiap orang mukmin adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam. Sebab semua ucapan dan perbuatan beliau adalah mulia, agung dan teladan. Kemuliaan akhlaknya diakui oleh semua orang Arab Quraisy di Makkah sejak beliau belum diangkat sebagai nabi dan rasul. Kehidupan sehari-hari beliau merupakan cerminan dari pengamalan Al-Qur’an.
Salah satu akhlak mulia beliau yang diabadikan oleh sejarah adalah kedermawanan beliau. Beliau dikenal luas sebagai orang yang suka berinfak. Beliau tidak pernah menolak untuk memberi saat ada orang yang meminta-minta kepada beliau, selama beliau memiliki sesuatu yang bisa diinfakkan.
Beliau sangat sering berinfak untuk orang fakir, miskin, janda, anak yatim, dan orang-orang yang membutuhkan. Bahkan terkadang beliau berinfak kepada sebagian orang kafir dalam jumlah sangat besar, demi melunakkan hati mereka untuk memeluk Islam.
Beliau terkadang berinfak kepada mereka dalam jumlah sangat besar, jumlah yang Kaisar Romawi dan Kisra Persia sekalipun tidak mampu melakukannya. Sementara itu beliau dan keluarga beliau sendiri hidup dalam kesederhanaan, terkadang harus mengganjal perut beliau dengan batu karena lapar. Ya, beliau selalu mengutamakan kepentingan orang lain atas kepentingan beliau dan keluarga beliau sendiri.
Beliau justru sangat khawatir jika di dalam rumahnya tersisa harta, betapapun kecilnya jumlah harta tersebut, lalu beliau wafat sementara beliau belum sempat menginfakkan harta tersebut.
عَنْ سَمُرَةَ بن جُنْدُبٍ، قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، يَقُولُ:”إِنِّي لأَلِجُ هَذِهِ الْغُرْفَةَ مَا أَلِجُهَا حِينَئِذٍ إِلا خَشْيَةَ أَنْ يَكُونَ فِيهَا مَالٌ، فَأُتَوَفَّى وَلَمْ أُنْفِقْهُ”
Dari Samurah bin Jundub radhiyallahu ‘anhu berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda: “Sungguh aku memasuki kamar ini, dan saat itu tidaklah aku memasuki kamar ini kecuali karena aku khawatir ada harta di dalam kamar ini, lalu aku wafat sementara aku belum menginfakkan harta tersebut.” (HR. Ath-Thabarani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir no. 7105. Sanadnya dinyatakan hasan oleh imam Al-Mundziri, Al-Hafizh Nuruddin Al-Haitsami dan Syaikh Nashiruddin Al-Albani)
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، أَنّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْتَفَتَ إِلَى أُحُدٍ، فَقَالَ:وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ مَا يَسُرُّنِي أَنَّ أُحُدًا هَذَا يُحَوَّلُ لآلِ مُحَمَّدٍ ذَهَبًا، أُنْفِقُهُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَمُوتُ يَوْمَ أَمُوتُ وَأَدَعُ مِنْهُ دِينَارَيْنِ إِلا دِينَارَيْنِ أُعِدُّهُمَا لِدَيْنٍ إِنْ كَانَ عَلِيَّ
Dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam menoleh kepada gunung Uhud, lalu beliau bersabda: “Demi Allah Yang nyawaku berada di tangan-Nya. Aku tidaklah senang jika gunung Uhud itu dirubah [oleh Allah] menjadi gunung emas untuk keluarga Muhammad, lalu aku menginfakkannya di jalan Allah, namun pada hari aku wafat aku masih menyisakan dua dinar, kecuali dua dinar yang aku persiapkan untuk membayar hutang jika aku memiliki hutang.”
Abdullah bin Abbas lantas berkata:
فَمَاتَ وَمَا تَرَكَ دِينَارًا وَلَا دِرْهَمًا وَلَا عَبْدًا وَلَا وَلِيدَةً وَتَرَكَ دِرْعَهُ مَرْهُونَةً عِنْدَ يَهُودِيٍّ عَلَى ثَلَاثِينَ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ
“Beliau wafat, sementara beliau tidak meninggalkan warisan walau hanya satu dinar, walau hanya satu dirham, walau hanya seorang budak laki-laki, dan walau hanya seorang budak perempuan. Bahkan baju besi beliau digadaikan pada seorang Yahudi dengan 30 sha’ [1 sha’ : sekitar 2,5 kg] tepung gandum.” (HR. Ahmad no. 2724, Al-Bazzar no. 3682, Abu Ya’la no. 3682, Abd bin Humaid no. 598 dan Ath-Thabarani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir no.11899. Al-Hafizh Nuruddin Al-Haitsami berkata: Para perawinya tsiqah. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth berkata: Sanadnya kuat)
عَنْ أَبِي ذَرٍّعَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَا يَسُرُّنِي أَنَّ لِي أُحُدًا ذَهَبًا أَمُوتُ يَوْمَ أَمُوتُ وَعِنْدِي مِنْهُ دِينَارٌ أَوْ نِصْفُ دِينَارٍ إِلَّا أَنْ أَرْصُدَهُ لِغَرِيمٍ
Dari Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam bahwasanya beliau bersabda: “Aku tidaklah senang memiliki emas sebesar gunung Uhud itu dirubah [lalu aku menginfakkannya di jalan Allah], namun pada hari aku wafat aku masih menyisakan satu dinar atau setengah dinar, kecuali dinar yang aku persiapkan untuk membayar hutang.” (HR. Ahmad no. 21322, Ad-Darimi no. 2767, dan Ath-Thayalisi no. 465. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth berkata: Hadits ini shahih)
Subhanallah…
Demikian dermawannya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam, suri tauladan kita. Kedermawanan itu beliau lakukan di luar bulan suci Ramadhan. Maka bayangkanlah bagaimana wujud riil kedermawanan beliau di bulan suci Ramadhan?
Saudaraku seislam dan seiman…
Di bulan suci Ramadhan ini, di tengah-tengah kita banyak saudara kita yang seiman yang masih hidup serba kekurangan dan kesusahan. Kita harus saling mengingatkan untuk senantiasa menginfakkan sebagian harta kita guna membantu saudara-saudara kita yang kesusahan tersebut. Mari kita ringankan penderitaan mereka, semampu kita, dengan mengikuti jejak suri tauladan kita, sesuai kadar kemampuan maksimal kita. Wallahu a’lam bish-shawab.
Salah satu akhlak mulia beliau yang diabadikan oleh sejarah adalah kedermawanan beliau. Beliau dikenal luas sebagai orang yang suka berinfak. Beliau tidak pernah menolak untuk memberi saat ada orang yang meminta-minta kepada beliau, selama beliau memiliki sesuatu yang bisa diinfakkan.
Beliau sangat sering berinfak untuk orang fakir, miskin, janda, anak yatim, dan orang-orang yang membutuhkan. Bahkan terkadang beliau berinfak kepada sebagian orang kafir dalam jumlah sangat besar, demi melunakkan hati mereka untuk memeluk Islam.
Beliau terkadang berinfak kepada mereka dalam jumlah sangat besar, jumlah yang Kaisar Romawi dan Kisra Persia sekalipun tidak mampu melakukannya. Sementara itu beliau dan keluarga beliau sendiri hidup dalam kesederhanaan, terkadang harus mengganjal perut beliau dengan batu karena lapar. Ya, beliau selalu mengutamakan kepentingan orang lain atas kepentingan beliau dan keluarga beliau sendiri.
Beliau justru sangat khawatir jika di dalam rumahnya tersisa harta, betapapun kecilnya jumlah harta tersebut, lalu beliau wafat sementara beliau belum sempat menginfakkan harta tersebut.
عَنْ سَمُرَةَ بن جُنْدُبٍ، قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، يَقُولُ:”إِنِّي لأَلِجُ هَذِهِ الْغُرْفَةَ مَا أَلِجُهَا حِينَئِذٍ إِلا خَشْيَةَ أَنْ يَكُونَ فِيهَا مَالٌ، فَأُتَوَفَّى وَلَمْ أُنْفِقْهُ”
Dari Samurah bin Jundub radhiyallahu ‘anhu berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda: “Sungguh aku memasuki kamar ini, dan saat itu tidaklah aku memasuki kamar ini kecuali karena aku khawatir ada harta di dalam kamar ini, lalu aku wafat sementara aku belum menginfakkan harta tersebut.” (HR. Ath-Thabarani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir no. 7105. Sanadnya dinyatakan hasan oleh imam Al-Mundziri, Al-Hafizh Nuruddin Al-Haitsami dan Syaikh Nashiruddin Al-Albani)
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، أَنّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْتَفَتَ إِلَى أُحُدٍ، فَقَالَ:وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ مَا يَسُرُّنِي أَنَّ أُحُدًا هَذَا يُحَوَّلُ لآلِ مُحَمَّدٍ ذَهَبًا، أُنْفِقُهُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَمُوتُ يَوْمَ أَمُوتُ وَأَدَعُ مِنْهُ دِينَارَيْنِ إِلا دِينَارَيْنِ أُعِدُّهُمَا لِدَيْنٍ إِنْ كَانَ عَلِيَّ
Dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam menoleh kepada gunung Uhud, lalu beliau bersabda: “Demi Allah Yang nyawaku berada di tangan-Nya. Aku tidaklah senang jika gunung Uhud itu dirubah [oleh Allah] menjadi gunung emas untuk keluarga Muhammad, lalu aku menginfakkannya di jalan Allah, namun pada hari aku wafat aku masih menyisakan dua dinar, kecuali dua dinar yang aku persiapkan untuk membayar hutang jika aku memiliki hutang.”
Abdullah bin Abbas lantas berkata:
فَمَاتَ وَمَا تَرَكَ دِينَارًا وَلَا دِرْهَمًا وَلَا عَبْدًا وَلَا وَلِيدَةً وَتَرَكَ دِرْعَهُ مَرْهُونَةً عِنْدَ يَهُودِيٍّ عَلَى ثَلَاثِينَ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ
“Beliau wafat, sementara beliau tidak meninggalkan warisan walau hanya satu dinar, walau hanya satu dirham, walau hanya seorang budak laki-laki, dan walau hanya seorang budak perempuan. Bahkan baju besi beliau digadaikan pada seorang Yahudi dengan 30 sha’ [1 sha’ : sekitar 2,5 kg] tepung gandum.” (HR. Ahmad no. 2724, Al-Bazzar no. 3682, Abu Ya’la no. 3682, Abd bin Humaid no. 598 dan Ath-Thabarani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir no.11899. Al-Hafizh Nuruddin Al-Haitsami berkata: Para perawinya tsiqah. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth berkata: Sanadnya kuat)
عَنْ أَبِي ذَرٍّعَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَا يَسُرُّنِي أَنَّ لِي أُحُدًا ذَهَبًا أَمُوتُ يَوْمَ أَمُوتُ وَعِنْدِي مِنْهُ دِينَارٌ أَوْ نِصْفُ دِينَارٍ إِلَّا أَنْ أَرْصُدَهُ لِغَرِيمٍ
Dari Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam bahwasanya beliau bersabda: “Aku tidaklah senang memiliki emas sebesar gunung Uhud itu dirubah [lalu aku menginfakkannya di jalan Allah], namun pada hari aku wafat aku masih menyisakan satu dinar atau setengah dinar, kecuali dinar yang aku persiapkan untuk membayar hutang.” (HR. Ahmad no. 21322, Ad-Darimi no. 2767, dan Ath-Thayalisi no. 465. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth berkata: Hadits ini shahih)
Subhanallah…
Demikian dermawannya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam, suri tauladan kita. Kedermawanan itu beliau lakukan di luar bulan suci Ramadhan. Maka bayangkanlah bagaimana wujud riil kedermawanan beliau di bulan suci Ramadhan?
Saudaraku seislam dan seiman…
Di bulan suci Ramadhan ini, di tengah-tengah kita banyak saudara kita yang seiman yang masih hidup serba kekurangan dan kesusahan. Kita harus saling mengingatkan untuk senantiasa menginfakkan sebagian harta kita guna membantu saudara-saudara kita yang kesusahan tersebut. Mari kita ringankan penderitaan mereka, semampu kita, dengan mengikuti jejak suri tauladan kita, sesuai kadar kemampuan maksimal kita. Wallahu a’lam bish-shawab.
0 Komentar